Kamis, 24 Februari 2011

Rahasia Basecamp


Rangkaian topeng 1 dan 8 dalam bahasa tarian



Sore sebelum senja, tertepis asa dalam sebuah kalut dunia balutkan nafas ini yang mulai menggema, tersudut dalam sayunya alam, menyambut hujan tiba. Hela nafas mulai merangkai air mata dengan jemariku di balik topeng 1, bahasa tubuh selantun memberi perangai keindahan dalam kabut maya, meski tak dapat tertuang sebatas kata dari sebuah pena diatas kertas.

Malam itu di sebuah basecamp tempat aku berteduh, aku "chacha" bercerita dari hati menjabarkan kisah dengan setangkai bunga. Basecamp yang indah, interior rumah yang menjadi khayalku tempatku bersenda-gurau bersama para sahabatku, nampak terlihat rona pipi ceria disetiap senyum lepas mereka, ungkapan syukur di setiap cerita.

Dari bilik dindingpun terlihat jemari-jemari tangan membawa pasir dengan kilauan cahaya dari mata tempat mereka melayang inilah awal kisah dari sebuah hati yang tak lagi tertunduk pada sebuah mimpi, meski kerap kali semua bertanya pada siapa - siapa ku mengadu, luapkan asa ku meski topeng demi topeng dia jajaki.

Dari sinilah jemari jemari itu lunglai menari, tarian topeng dengan sejuta misteri, masih terngiang jelas dalam benakku saat aku berada di tengah mereka. satu persatu dia berbahasa dalam sebuah tarian kata, lantunkan selendang sukma dengan sayap-sayap patah yang terdiam di senja tiba, hingga pagi pun tiba, puing-puing pagi masih saja berisyarat dengan gemulai tangan melantun, alkisah aku bukan dirinya, dalam bahasa cinta tempat ku bercerita pada pasir bila ada pasir, pada gurun yang setia pada rumputnya.

Telah lama, aku simpan begitu rapat hati ini, berbalik tanpa berbanding terbalik, dalam raut wajah ceria, meski topeng 2 tercengang dia berasal dari tubuh membisu, meluapkan kata tanpa makna yang tersirat, kecuali diriku yang tau cara mengartikannya, bahasa-bahasa fiksi masih nampak jelas, meski tanda tanya dalam sebuah koma, ada di sebuah makna.

Inilah yang hati bicara topeng 3, tempat ku bicara seperti bahasa kamera yang kubingkai di dalamnya tak ada opera, dia tak bermain dalam layar kaca atau sekedar pangkuan dari pikirku yang ada di setiap bahasa kala ku menerjemahkan kata menjadi sebuah bahasa dalam kamera, tata ruang ku persiapkan dengan tangan-tangan hampa dari pikirku yang mengisahkan secangkir aroma kopi leburkan rasa. Aku tak lagi berbicara kata aku, kecuali bahasa tubuhnya membekas erat di layar kamera, tempat dia bercerita kemudian aku bingkai satu persatu tata ruang itu dengan sebuah cahaya, agar tetap elok di pandang mata, namun TIDAK..

Kata TIDAK yang mengandung makna aku masih terdiam seribu bahasa di balik kamera hingga cerita usai sempurna. Hingga berkaca pada sebuah topeng 4. Aku tahu kamu ada, ada saat aku terluka, selembut kata dari daun kering, goyahkan AIR, dari balik langit tempat ku berkaca seirama gemericik kakinya menari dengan lonceng, tapi apa yang terjadi, masih kelak hatiku bersembunyi merangkai tanya dalam kalbu menerima setiap ransangan nafasnya oleh cerita. Tepat di topeng ke 5, aku mulai sedikit demi sedikit menyimpan kata untuk berfikir aku bukanlah siapa-siapa, dan aku pun mulai menulis konsep ini "topeng 1 dan 8 dalam sebuah bahasa tarian".

Mulailah aku menulis & merangkai hati biar tetap bersembunyi meski aku harus berdiam diri menunggu pagi datang, hingga kubuat bunga di serpihan taman yang gersang, nanti dia kan mencerna tanpa perlu membaca bahasa pikirku di luar nalarnya. Bahasa - bahasa yang membosankan untuk di baca tapi membingungkan semua pikiran, inilah aku meski tertuang hanya dalam konsep yang kutulis sebelumnya. Topeng 6, bisa di sebut topeng isyarat, dari topeng ini aku berfikir dalam bahasan yang sudah kuracik sebelumnya, hingga terbentuklah gagasan disini tempatku akan menemukan keluarga, lalu kurangkai dari tiap masalah yang ada kujadikan 1 dan ku bentuk sebuah tempat meski tak seindah daun menjalar, maupun secepat pola pikir aku inginkan tali rasa persatuan.

Aku yang masih dalam bahasa fiksiku dengan para sahabatku membentuk "basecamp" meski dalam tanda kutip "acak-acakan". Topeng 7, topeng inilah isyarat hatiku berdetak kencang, menangis dalam tawa, meski tak seindah langit berbahasa. disinilah hatiku merasa nyata tanpa ada kata fiksi lagi yang ku tuang, karna dari topeng 1 hingga ke topeng 7, adalah sebuah adaptasi menuju keindahan arti sahabat, meski itu belum tentu dalam hatinya, namun hatiku sudah membisu diam bahasa, meski tak seindah hari biasa.

Inikah keindahan nyata yang aku rasakan meski hanya dalam bahasa tarian, bukan semata teory kehidupan yang kutuang dari rasa menuju rasa, namun dari sayatan hati menangis menuju keindahan nyata. Topeng 8 adalah "Aurel, Chacha, Dafi, Dian, Echa, Icha, Puput, Uya".

dalam tanda tanya kemana ini kan kau bawa?

Hingga topeng selanjutnya kan tiba di rumah kita "zia, cynthia, jessica, catriya, ratih, dsb" untuk berucap syukur ‎"Alhamdulillah" seperti yang di utarakan beberapa menit sebelumnya "ketika cintaku bertasbih" aroma nafaspun tak dapat ku kendalikan, memanggil Asma Allah atau nama Tuhan dengan segala kebesarannya.




..Amien..

chacha


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar